Cuma Curhat: Saat AI di Kantor Mulai Nulis Lelucon Sendiri
Saat pertama kali kami pasang assistant AI untuk bantu bikin draf email dan ringkasan meeting, intinya simpel: hemat waktu dan bikin pekerjaan monoton jadi lebih cepat. Empat bulan berjalan, asisten itu mulai “ngomong” sendiri — bukan dalam arti menyerang kantor, tapi mulai selipin joke yang kadang pas, kadang bikin kami saling pandang. Pengalaman ini bukan sekadar anekdot; ia mengajarkan banyak hal tentang cara kita harus mendesain, memantau, dan bertanggung jawab atas AI yang bekerja bersama tim manusia.
Ketika Bot Berbumbu Humor: Mengapa Itu Terjadi
AI dilatih pada data besar berisi teks manusia—artikel, forum, iklan, meme. Jadi wajar jika ia meniru pola humor yang sering muncul. Dalam praktiknya, saya pernah melihat AI yang diintegrasikan ke Slack menambahkan kalimat penutup lucu di ringkasan meeting: “Intinya: semua baik. Kecuali kopi habis. Prioritas baru segera.” Sekilas harmless, tapi bagi tim client-facing, ini jadi masalah: tone mismatch, melanggar pedoman brand, atau malah memicu kesalahpahaman dengan klien yang tidak mengerti konteksnya.
Dari pengalaman, humor AI muncul karena beberapa alasan teknis: prompt yang terlalu longgar, model yang dilatih ulang dengan data internal tanpa filtering, atau aturan post-processing yang tidak ada. Humor bukan bug semata; sering kali ia indikator bahwa kontrol kualitas outputs lemah.
Masalah yang Sering Muncul (dan Solusi Praktis)
Berikut beberapa masalah konkret yang pernah saya tangani di proyek-produksi AI dan solusi yang terbukti efektif: pertama, tone mismatch. Solusi: buat style guide digital yang bisa dipanggil ke dalam prompt—bukan hanya “professional”, tapi contoh kalimat yang boleh dan tidak boleh digunakan. Kedua, jokes yang tidak pantas; ini memerlukan blacklist kata/tema dan mekanisme override manual. Ketiga, over-personalization: AI menulis seolah-olah kenal semuanya. Terapkan prinsip “sedikit skeptis”: setiap output yang berisi asumsi kuat harus flag untuk review manusia.
Secara kuantitatif, saat rollout pertama di tim pemasaran saya, hampir 20% konten yang dihasilkan AI butuh edit substansial. Setelah menambahkan template prompt, style guide, dan layer human-in-loop, angka itu turun ke single digit. Perubahan sederhana, dampak nyata.
Membangun Guardrail yang Realistis
Guardrail bukan sekadar memblokir kata; ia soal proses. Mulai dari pipeline: prompt -> draft -> filter otomatis (tone, keamanan, fakta) -> reviewer manusia -> publish. Di sini, logging dan audit trail penting. Catat siapa yang men-trigger AI, prompt yang digunakan, versi model, dan revisi yang dilakukan. Saat ada komplain dari klien, Anda bisa menelusuri akar masalah dengan cepat.
Untuk aspek desain UX dan dokumentasi internal, saya sering mengacu pada sumber-sumber yang membantu menyusun guideline visual dan copy—termasuk hal-hal seperti persona AI dan contoh respons. Salah satu referensi yang saya gunakan untuk inspirasi aset desain adalah designerchoiceamerica, terutama ketika membuat modul explainability untuk tim non-teknis.
Menjaga Manusia Tetap di Kursi Pengemudi
Poin terakhir: AI boleh kreatif, tapi tanggung jawab ada di manusia. Saya selalu mendorong kebijakan “AI sebagai co-pilot, manusia sebagai pilot.” Artinya: output AI harus selalu melewati setidaknya satu mata manusia untuk konteks sensitif—email ke klien strategis, pernyataan publik, atau konten yang mempengaruhi keputusan bisnis. Untuk tugas internal yang low-risk, biarkan AI lebih leluasa, tapi tetap sediakan reporting dan kanal feedback cepat.
Dalam pengalaman saya, budaya perusahaan menentukan seberapa baik AI bisa diadopsi. Di perusahaan yang terbuka pada eksperimen namun disiplin tentang dokumentasi, AI menjadi multiplier produktivitas; di tempat yang kurang disiplin, AI lebih sering menambah kebingungan. Latih orang untuk menilai output kritis: apa tujuan pesan ini, siapa audiensnya, dan apakah ada potensi interpretasi negatif?
Di akhir hari, curhat ini bukan anti-AI. Saya percaya AI bisa jadi partner kerja yang hebat—asal kita menempatkan aturan main, membangun sistem review yang realistis, dan menerima bahwa humor mesin harus diperlakukan seperti humor rekan kerja baru yang belum kita kenal betul. Leluconnya bisa bikin suasana ringan. Tapi saat lelucon itu keluar di email ke direktur, kita mesti pastikan ada pengendali rem yang andal.