Ngurus rumah itu susah-susah gampang. Saya pernah kepo banget sama interior setelah pindah ke apartemen mungil—asal cantik di Instagram langsung ingin diterapin semua. Hasilnya? Yah, begitulah: ruang penuh barang tapi nggak nyaman. Sejak itu saya belajar memilih furnitur yang bukan cuma keren dilihat, tapi juga bikin betah dan praktis dipakai sehari-hari.
Mulai dari kebutuhan, bukan dari foto feed
Sebelum belanja, tanya dulu ke diri sendiri: kamu butuh apa sebenarnya? Saya menulis daftar kecil—nongkrong, kerja, tidur, nyimpen barang. Dari situ kelihatan mana furnitur yang wajib dan mana yang cuma pemanis. Sofa besar mungkin cocok kalau suka nonton bareng teman, tapi kalau kamu sering kerja di meja makan, lebih baik invest di kursi ergonomis.
Gaya boleh nge-trend, tapi jangan lupa fungsi
Tren interior sekarang banyak mengajak kita ke arah minimalis hangat, warna-warna tanah, dan material alami. Saya memang suka kayu, tapi bukan berarti semua harus kayu. Pilih material yang tahan lama dan mudah dirawat. Tips saya: cek finishing, kualitas sambungan, dan cara membersihkannya. Kalau punya anak atau hewan peliharaan, pelapis yang mudah dicuci itu penyelamat.
Pilih ukuran yang ‘ngomong’ sama ruangmu
Saran paling sering dilewatkan: ukur dulu. Saya pernah beli meja kopi yang gedhe karena kepedean lihat di toko—eh pas di ruang tamu malah makan area jalan. Ukuran yang pas membuat ruang terasa lega. Cara gampang: pakai lakban di lantai untuk menandai footprint furnitur sebelum beli. Percaya deh, mata bener-bener bisa salah menilai skala.
Mekanisme multi-fungsi itu juara
Untuk rumah kecil, furnitur multi-fungsi itu berkah. Saya suka tempat tidur dengan laci bawah atau sofa bed yang gak berat saat dibuka. Rak yang bisa dipindah atau meja lipat juga berguna saat tamu datang. Selain menghemat ruang, barang multi-fungsi bikin ruangan nggak perlu banyak item—lebih rapi dan terlihat lega.
Jangan lupa soal warna dan tekstur. Warna netral untuk furnitur utama bikin suasana tenang dan lebih fleksibel kalau mau ganti aksen. Saya pakai sofa abu-abu muda dan beberapa bantal warna hangat—hasilnya nyaman tapi tetap punya karakter. Tekstur seperti anyaman atau kain bouclé memberi kedalaman tanpa ramai secara visual.
Pencahayaan juga bagian dari furnitur, menurut saya. Lampu lantai bisa jadi titik fokus sekaligus sumber cahaya kerja. Lampu meja di sudut baca membuat suasana lebih personal. Coba kombinasikan cahaya hangat dan dingin sesuai aktivitas—itu yang bikin rumah terasa ‘hidup’.
Saya juga sering browsing inspirasi di situs-situs desain. Kadang menemukan potongan furnitur yang pas di toko lokal. Kalau suka browsing online, cek spesifikasi ukurannya, bahan, dan kebijakan garansi. Ada toko yang lengkap, seperti designerchoiceamerica, yang membantu dapat gambaran kualitas sebelum memutuskan beli.
Budget itu bukan musuh
Budget sering bikin galau, tapi sebenarnya banyak cara cerdas: beli item besar berkualitas, lalu isi dengan aksesori terjangkau. Saya beli sofa yang awet, lalu ganti karpet dan bantal untuk merubah suasana musiman. Renovasi total jarang perlu; sentuhan kecil bisa efektif banget.
Jangan takut mix & match (asal pinter)
Mengombinasikan gaya boleh-boleh saja. Saya pernah gabung furnitur modern dengan meja vintage dari pasar loak—hasilnya unik. Kuncinya: ada benang merah, misalnya warna atau material. Jadi meski beda era, tetap nyambung. Kalau ragu, pilih satu elemen pengikat seperti warna netral atau pola yang berulang.
Akhirnya, ingat: rumah adalah tempat bernafas. Furnitur yang bagus adalah yang membuatmu nyaman, bukan membuat stres. Kalau suatu barang bikin kamu senyum waktu pulang, itu sudah tepat. Simpel, fungsional, dan punya cerita kecil—yah, begitulah resep saya biar betah lama-lama di rumah.